AMAR MA’RUF NAHYI MUNKAR HARUS MENJADI SURI TAULADAN
DARI SETIAP INDIVIDU TERHADAP ORANG LAIN
A. Pengertian
Amar Ma’ruf Nahyi Munkar
(al`amru
bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar) adalah sebuah frasa dalam bahasa
Arab
yang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang
baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Dalil
Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah:
Hai
anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan
cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).” [Luqman 17]
Jika
kita tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah akan menyiksa
kita dengan pemimpin yang zhalim dan menindas kita dan tidak mengabulkan segala
doa kita:
Hendaklah
kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat
jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling
jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu
berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Zar)
Amar
Ma'ruf Nahi Munkar dilakukan sesuai kemampuan. Yaitu dengan tangan/kekuasaan
jika dia adalah penguasa/punya jabatan. Dengan lisan/tulisan jika dia adalah
jurnalis atau intelektual. Atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran
yang ada. Ini adalah selemah-lemah iman (Hadits).
Abul
-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Abdul-Aziz berkata:
"Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyiksa
orang-orang umum kerana dosa-dosanya orang-orang yang tertentu tetapi apabila
perbuatan dosa itu merahajalela dan terang-terangan kemudian tidak ada yang
menegur, maka bererti semuanya sudah layak menerima hukuman."
Dan
diriwayatkan bahawa Allah s.w.t. telah
mewahyukan kepada Yusya bin Nuh a.s.: "Aku
akan membinasakan kaummu empat puluh ribu orang yang baik-baik dan enam puluh
ribu orang yang derhaka." Nabi Yusya bertanya: "Ya Tuhan, itu
orang derhaka sudah layak, maka mengapakah orang yang baik-baik itu?"
Jawab Allah s.w.t.: "Kerana mereka
tidak murka terhadap apa yang Aku murka, bahkan
mereka makan minum bersama mereka yang derhaka itu."
Abu
Hurairah r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda (yang bermaksud): "Anjurkan lah kebaikan itu meskipun kamu
belum dapat mengerjakannya dan cegahlah segala yang mungkar meskipun kamu belum
menghentikannya."
Anas
r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda (yang bermaksud): "Sesungguhnya diantara manusia itu ada yang
menjadi pembuka untuk kebaikan dan penutupan dari kejahatan, dan ada juga
manusia yang menjadi pembuka kejahatan dan penutupan kebaikan, maka
sesungguhnya untung bagi orang yang dijadikan Allah
s.w.t. sebagai pembuka kebaikan dan binasa bagi yang dijadikan Allah s.w.t. pembuka kejahatan itu ditangannya."
Artinya: Orang yang
menganjurkan kebaikan dan mencegah mungkar itulah pembuka kebaikan dan
penutupan dari kejahatn dan ia termasuk orang mukmin sebagaimana firman Allah s.w.t.: "Wal
mu'minuna wal mu'minaatu ba'dhuhum auliyaa'u ba'dh ya'muruuna bil ma'rufi
wayanhauna anil mungkar." Yang bermaksud: "Orang-orang mukmin lelaki dan perempuan setengah menjadi
wali pembantu pada setengahnya, menganjurkan kebaikan dan mencegah dari
mungkar."
Adapun
yang menganjurkan mungkar dari mencegah dari kebaikan maka itu tanda munafiq
sebagaimana firman Allah s.w.t.: "Almunafiquuna walmunafiqatu ba'dhuhum min ba'dh ya'muruuna
bil mungkari wayanhauna anil ma'ruf" Yang bermaksud: "Orang munafiq lelaki dan perempuan masing-masing menjadi
wali pembantu setengahnya menganjurkan kejahatan dan mencegah kebaikan."
Ali
bin Abi Thalib r.a. berkata: "Seutama-utama amal ialah amar ma'ruf dan
nahi mungkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan), dan membenci orang
yag fasiq (melanggar hukum). Maka siapa yang menganjurkan kebaikan
bererti memperkuat orang mukmin dan siapa mencegah mungkar bererti menghina
orang munafiq.
meriwayatkan
dari Qatadah berkata: "Ada seorang datang kepada Nabi
Muhammad s.a.w. ketika diMekah lalu bertanya: "Benarkah engkau
mengaku sebagai utusan Allah s.w.t.?"
Jawab Nabi Muhammad s.a.w. : "Ya"
Lalu bertanya: "Amal apakah yang lebih disukai Allah
s.w.t?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w.:
"Menghubungi keluarga." Tanyanya lagi: "Kemudian apakah?"
Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Menganjurkan
kebaikan dan mencegah mungkar." Lalu ditanya lagi: "Amal apakah yang
sangat dimurkai Allah s.w.t.?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w. " Syirik, mempersekutukan Allah s.w.t." "Kemudian apakah?"
tanyanya lagi. Nabi Muhammad s.a.w. menjawab:
"Memutuskan hubungan kekeluargaan." "Kemudian apakah?"
tanyanya lagi. Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Meninggalkan
amar ma'ruf dan nahi mungkar (tidak suka menganjurkan kebaikan dan mencegah
mungkar)."
Atstsauri
berkata: "Jika kau melihat orang yang pandai quran itu disayangi
oleh tetangganya dan dipuji oleh kawan-kawannya, maka ketahuilah bahawa ini suka
mengambil hati (yakni tidak tegas amar ma'ruf dan nahi mungkar)."
Abul-Laits
meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud) Tidak
terjadi pada suatu kaum seorang yang berbuat durhaka, sedang mereka dapat
menghentikannya tetapi mereka tidak mencegahnya melainkan Allah s.w.t. akan meratakan mereka siksaanNya sebelum mati mereka."
Abul-Laits
berkata: "Nabi Muhammad s.a.w.
mensyaratkan berkuasa untuk mencegah bererti bahawa orang-orang yang baik-baik
berkuasa (berwibawa), kerana itu maka kewajipan mereka harus mencegah
merahajalelanya orang-orang ahli maksiat."
Allah s.w.t. memuji ummat ini didalam ayat yang
berbunyi: "Kuntum khoiro ummatin ukhrijat
linnaasi ta'muruna bil ma'rufi watanhauna anil mungkari watu'minuna billah."
Yang bermaksud: "Kamu sebaik-baik ummat yang
dilahirkan untuk manusia kerana menganjurkan kebaikan dan mencegah mungkar dan
beriman kepada Allah."
Didalam
ayat lain pula berbunyi: "Wal takun minkum
ummatun yad'uuna jlal khori waya'muruuna bil ma'ruufi wayanhauna anil munkar
wa'ulaika humul muflihuun." Yang bermaksud: "Harus ada dari kamu golongan (orang-orang) yang mengajak
kepada kebaikan dan menganjurkan segala ma'ruf (yang baik) dan mencegah mungkar
dan merekalah orang-orang yang beruntung (bahagia)."
Juga
Allah s.w.t. mencela orang-orang yang
tidak suka mencegah munkar dalam ayat yang berbunyi: "Kaa nu laa yatana hauna an mungkharin fa'aluhu labi'samaa
kaanuu yaf'alun." Yang bermaksud: "Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar yang
mereka perbuat, sesungguhnya busuk perbuatan mereka itu."
Didalam
ayat yang lain pula Allah s.w.t.
berfirman: "Lau laa yanhahumur robbaniyuna wal
ahbaaru an qaulihimul itsma wa aklihimus suhta, labi'sa maa kaanu yash ma'uun."
Yang bermaksud: "Mengapa para ulama dan
orang-orang yang mengerti agama itu tidak melarang mereka dari kata-kata yang
keji dan makan yang haram, sungguh busuk apa yang mereka perbuat."
Seharusnya
orang yang akan menganjurkan amar maruf itu melaksanakan sendiri peribadi
supaya lebih mantap manishat peringatannya. Abud Dardaa r.a. berkata:
"Siapa yang menasihati saudaranya dimuka umum (terang-terangan) maka
bererti telah memalukannya dan siapa memberi nasihat itu sendirian maka
benar-benar akan memperbaiki dan bila tidak berguna nasihat dengan rahsia maka
boleh minta tolong kepada orang yang baik-baik untuk mencegahnya dari perbuatan
maksiat, maka jika tidak dikerjakan yang demikian pasti perbuatan maksiat itu
akan menjalar dan bermahajalela sehingga membinasakan mereka semua."
Abul-Laits
meriwayatkan dengan sanadnya dari Annu'man bin Basyir r.a. berkata: "Saya
telah mendengar Nabi Muhammad s.a.w. bersabda
(yang bermaksud) Perumpamaan orang yang tegak dalam hukum Allah s.w.t. dan orang yang tergelincir bagaikan
rombongan yang naik kapal maka masing-masing bertempat diatas dan dibawah, maka
ketika mereka sedemikian, tiba-tiba orang yang berada dibahagian bawah
mengambil kapak lalu ditanya oleh kawan-kawannya: Apakah maksudmu? Jawabnya:
Saya akan melubangi tempatku supaya dekat dengan air sehingga mudah bagiku
mengambil atau membuang air. Maka sebahagian yang lain berkata: Biarkan ia
berbuat sesukanya dibahagiannya, sebahagian yang lain pula berkata: Jangan kamu
biarkan dia melubangi bahagian bawah dari kapal ini, nescaya ninasa dan
membinasakan kita semua, maka bila mereka dapat menahannya bererti selamat dan
selamat semuanya tetapi bila mereka tidak mencegahnya maka binasa dan binasa
semuanya."
Abu-Dardaa
r.a. berkata: "Kamu harus melakukan amar maruf nahi mungkar, kalau tidak Allah s.w.t. akan mengguasakan diatas kamu
seorang yang zalim, yang tidak menghargai orang tua dan tidak kasih kepada
anak-anak, kemudian pada saat itu orang-orang yang baik diantara kamu berdoa,
maka tidak diterima doa mereka, minta pertolongan juga tidak ditolong minta
ampun tidak diampun."
Huszaifah
ra.a berkata: "Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda (yang bermaksud) Demi Allah yang
jiwaku ada ditangaNya, kamu harus melakukan
amar maruf dan nahi mungkar atau jika tidak melakukan itu bererti sudah hampir Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu
berdoa maka tidak diterima oleh."
Ali
r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda (yang bermaksud) Jika ummatku telah takut berkata kepada orang yang
zalim itu: "Engkau zalim!", maka ucapkan selamat tinggal pada ummat
itu (mereka akan binasa dan hina)."
Abul Said Alkhudi r.a.
berkata: "Nabi Muhammad s.a.w.
bersabda (yang bermaksud) Jika kamu melihat perbuatan mungkar maka kamu
harus roboh (tentang) dengan kekuatan kekuasaan (tangan), jika tidak dapat maka
dengan nasihat lidahnya, jika tidak dapat maka dibenci dengan hatinya dan ini
menunjukkan selemah-lemah iman. Menggunakan kekuatan kekerasan itu bagi orang
yang berkuasa dan dengan lisan bagi para ulama (cerdik pandai) dan denganb hati
bagi umum. Masing-masing orang menggunakan menurut kedudukannya, kekuatannya
dan kekuasaannya."
Abul-Laits
berkata: "Seharusnya bagi orang yang maruf (menganjurkan kebaikan) dan
nahi mungkar (mencegah kejahatan) itu harus niat ikhlas kerana Allah s.w.t. dan menegakkan agama Allah s.w.t. bukan semata-mata membela
kepentingan diri sendiri, sebab bila ia benar-benar ikhlas kerana Allah s.w.t. dan agama Allah s.w.t., maka pasti mendapat bantuan pertolongan Allah s.w.t. sebagaimana ayat yang berbunyi:
"In tanshurullaha yan shurkum."
(Yang bermaksud: "Jika kamu benar-benar
menegakkan khalimatullah, maka Allah akan menolong kamu.) Juga pasti
ia terpimpin dengan taufiq dari Allah s.w.t.
Ada riwayat dari Ikrimah berkata: "Ada seorang berjalan tiba-tiba ia
melihat sebuah pohon disembah orang maka ia marah dan langsung ia pulang
mengambil kapaknya lalu naik himar menuju ketempat pohon itu untuk memotongnya,
maka dihadang iblis laknatullah ditengah jalan tetapi merupai orang, maka
ditanya: "Engkau akan kemana?" Jawab orang itu: "Saya melihat
pohon yang disembah orang, maka saya berjanji kepada Allah s.w.t. akan memotong pokok itu, kerana itu saya pulang
mengambil kapak dan naik himarku ini untuk pergi kepohon itu." Iblis
laknatullah berkata: "Apa urusanmu dengan sembahan orang, biar orang lain,
mereka telah jauh dari rahmat Allah."
Disebabkan rintangan iblis laknatullah itu maka ahkirnya mereka berkelahi
tetapi ternyata Iblis laknatullah itu kalah, sampai berulang tiga kali tetap
iblis laknatullah kalah lalu Iblis laknatullah itu berkata: "Lebih baik
kau kembali dan saya berjanji kepadamu tiap hari aku akan berikan kepadamu
empat dirham diujung tempat tidurmu." Orang itu bertanya: "Apakah
betul kau akan begitu?" Jawab iblis laknatullah: "Ya, aku jamin tiap
hari." Maka kembalilah orang itu kerumahnya, maka benarlah pada esok hari
ia mendapat wang itu selama dua hari dan pada hari ketiga ternyata tidak ada
apa-apa, kemudian esok harinya lagi tiada juga. Maka kerana ia tidak mendapat
wang itu, maka ia segera mengambil kapak dan naik himar untuk pergi kepohon
itu, maka ditengah jalan dihadang oleh iblis laknatullah yang merupai manusia
dan ditanya: "Kemana kau mahu pergi?" Jawabnya: "Kepohon yang
disembah orang itu untuk memotongnya." Iblis laknatullah berkata:
"Engkau tidak dapat berbuat demikian, adapun yang pertama kali itu kerana
kau keluar dengan marahmu itu benar-benar kerana Allah
sehingga umpama semua penduduk langit dan bumi akan menghalangi kamu tidak akan
dapat, adapun sekarang maka kau keluar kerana tidak mendapat wang maka bila kau
berani maju setapak aku akan patahkan lehermu.", maka ia kembali
kerumahnya dan membiarkan pohon itu.
Abul-Laits
berkata: "Seorang yang akan menjalankan amar maruf dan nahi mungkar harus
melengkapi lima syarat iaitu:
1.
Berilmu, sebab orang yang bodoh tidak
mengerti maruf dan mungkar.
2.
Ikhlas kerana Allah s.w.t. dan kerana agama
Allah s.w.t.
3.
Kasih sayang kepada yang dinasihati, dengan
lunak dan ramah tamah dan jangan menggunakan kekerasan sebab Allah s.w.t. telah
berpesan keppada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. supaya berlaku lunak kepada
Fir'aun
4.
Sabar dan tenang, sebab Allah s.w.t.
berfirman yang berbunyi: "Wa'mur bil ma'rufi
wanha anilmunkar wash bir ala maa ashabaka." Yang bermaksud:
"Anjurkan kebaikan dan cegahlah yang mungkar
dan sabarlah terhadap segala penderitaanmu."
5.
Harus mengerjakan apa-apa yang dianjurkan
supaya tidak dicemuh orang atas perbuatannya sendiri sehingga tidak termasuk
pada ayat yang berbunyi: "Ata'murunannasa
bil-birri watansauna anfusakum." Yang bermaksud: "Apakah kamu menganjurkan kebaikan kepada orang lain tetapi
melupakan dirimu sendiri."
Anas r.a. berkata: "Nabi
Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Ketika malam isra'
saya melihat orang-orang yang digunting bibirnya dengan gunting dan ketika aku
bertanya pada Jibril: Siapakah mereka itu, ya Jibril? Jawabnya: Mereka
pemimpin-pemimpin dari ummatmu yang menganjurkan orang lain berbuat baik tetapi
lupa pada diri sendiri, padahal mereka membaca kitab
Allah s.w.t. tetapi mereka tidak memperhatikan dan mengamalkannya."
Qatadah
berkata: "Didalam kitab Taurat ada tertulis: Hai anak Adam, engkau
mengingatkan lain orang dengan ajaranKu sedang
engkau melupakan Aku, dan mengajak orang
kembali kepadaKu sedang engkau lari daripadaKu, maka sia-sia perbuatanmu itu."
Abu Mu'awiyah Alfazari
meriwayatkan dengan sanadnya bahawa Nabi Muhammad
s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Kamu kini dalam hal yang
sangat jelas dari jalan Tuhanmu sehingga nampak
jelas bagimu dua macam mabuk iaitu mabuk penghidupan dan mabuk kebodohan dan
kamu kini masih menjalankan amar maruf dan nahi mungkar, dan kamu berjuang
bukan dalam jalan Allah s.w.t. dan orang-orang
yang dapat menegakkan ajaran kitab dengan sembunyi atau terang-terangan sama
pahalanya dengan orang-orang dahulu dari sahabat Muhajirin dan Anshar."
Alhasan berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud):
"Siapa yang lari dari daerah kelain daerah untuk mempertahankan
agamanya, walau baru melangkah satu jengkal, maka telah pasti (berhak) masuk
syurga dan menjadi kawan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad s.a.w."
(Sebab) Nabi Ibrahim a.s. telah berhijrah dari
Hiraan ke Syam iaitu yang tersebut didalam ayat yang berbunyi: "Wa qaala inni muhajirun ila robbi innahu huwal aziizul hakiem.
Yang bermaksud: "Dan berkata Ibrahim, sungguh
aku akan berhijrah kepada Tuhanku, sungguh Dialah yang mulia, jaya dan
bijaksana."
Dan Ayat yang
berbunyi: "Inna dzahibun ila robbi sayahdini."
Yang bermaksud: "Sungguh aku akan pergi kepada
Tuhanku, Dialah yang memberi hadayat dan memimpin aku."
Dan Nabi Muhammad s.a.w. telah berhijrah dari Mekkah ke
Madinah, maka siapa didaerah yang penuh maksiat lalu ia keluar daripadanya
kerana mengharapkan keridhaan Allah s.w.t.,
maka telah mengikuti jejak Nabi Ibrahim a.s.
dan Nabi Muhammad s.a.w., maka insyaallah akan
menjadi kawan keduanya disyurga.
Firman Allah s.w.t. yang berbunyi: "Waman yakhruj min baitihi muhajiran illalahi warasulihi
tsumma yudrikhul mautu faqad waqa'a ajrunu alallah wakaanallahu ghafura rahima."
Yang bermaksud: "Dan siapa yang keluar dari
rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasulullah kerana taat kepada Allah dan
Rasulullah kemuadian mati, maka pahalanya telah dijamin oleh Allah, dan Allah
itu maha pengampun lagi penyayang."
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud):
"Tiap-tiap muslim yang keluar dari rumahnya berhijrah menuju taat dan
keridhoaan Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, lalu meletakkan kakinya diatas
kenderaannya walau baru berjalan selangkah kemudian mati, maka Allah s.w.t. akan memberi pahala orang-orang yang
berhijrah. Dan tiap-tiap orang muslim keluar dari rumahnya untuk berperang
jihad fisabilillah, mendadak terinjak oleh kenderaannya atau tergigit oleh
binatang berbisa sebelum perang atau mati bagaimanapun keadaannya, maka ia mati
syahid. Dan tiap orang muslim yang keluar dari rumahnya menuju ke Baitillahil
Haram (berbuat haji) kemudian mati sebelum sampai, maka Allah s.w.t. akan mewajibkan baginya syurga."
Abul-Laits
berkata: "Dan siapa tidak hijrah dari daerahnya sedang ia sanggup
menunaikan ibadat kepada Allah s.w.t.,
maka tidak apa-apa asalkan ia membenci pada maksiat yang terjadi disekitarnya,
maka ia dimaafkan." Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: "Cukup
bagi seorang yang melihat mungkar dan ia tidak dapat merubahnya, asalkan Allah
s.w.t. mengetahui dalam hatinya bahawa ia tidak suka pada mungkar itu."
Sebahagian sahabat
r.a. berkata: "Jika seorang melihat mungkar dan tidak dapat mencegahnya,
maka hendaklah dia membaca: Allahuma inna hadzaa
munkaran fala tu'aa khidzni bihi. Yang bermaksud: Ya Allah, maka jangan menuntut aku dengan adanya mengkar.
(Sebanyak 3 kali) Maka jika membaca yang demikian ia mendapat pahala seperti
orang amar maruf dan nahi mungkar.
Umar bin Jabir
Allakhmi dari Abu Umayyah berkata: "Saya tanya pada Abu Tsa'labah
Alkhusyani r.a. tentang ayat yang berbunyi: "Ya
ayyuhai ladzina aamanu anfusakum laa yadhurrukum man dholla idzah tadaitum."
Yang bermaksud: "Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu, tidak apa-apa bagimu kesesatan orang yang sesat bila kamu telah
mendapat hidayat dan berlaku baik." Jawab Abu Tsa'labah:
"Engkau telah tanya pada orang-orang yang benar mengetahui, saya telah
tanya kepada Rasulullah s.a.w. maka Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud):
"Hai Abu Tsa'labah, laksanakan amar maruf dan nahi mungkar, maka
apabila engkau telah melihat dunia sudah diutamakan dari lain-lainnya, dan
orang yang kikir telah diikuti orang, dan tiap orang sombong dan berbangga
dengan pendapatnya sendiri, maka jagalah dirimu, sebab dibelakangmu adalah saat
kesabaran dan ketahanan dan bagi orang yang kuat mempertahankan sebagaimana yang
kamu lakukan sekarang ini akan mendapat pahala sama dengan lima puluh
orang." Sahabat bertanya: "Sama dengan lima puluh orang dari kami
atau dari mereka?" Jawab Rasullullah s.a.w.:
"Sama dengan lima puluh orang dari kamu."
Qais bin Abi Hazim
berkata: "Saya telah mendengar Abu Bakar Assiddiq r.a. berkata: "Kamu
membaca ayat ini (yang berbunyi): "Ya
ayyuhallazlina amanu alaikum anfusakum ia yadhurrukum man dholla idzah
tadaitum, ilallahi marji'ukum kami'an." Yang bermaksud: "Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tidak bahaya
bagimu kesesatan orang-orang yang sesat jika kamu sendiri mengikuti petunjuk,
kepada Allah kamu semua akan kembali." Dan saya telah mendengar
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud):
"Tiada satu kaum yang memaharajalela ditengah-tengah mereka perbuatan
maksiat kemudian tiada yang berusaha merubahnya dan mencegahnya melainkan telah
hampir tiba pada mereka siksa umum merata dari Allah
s.w.t." dan kamu letakkan tidak pada tempatnya.
Ibn Mas'ud r.a. ketika
ditanya mengenai ayat ini, ia menjawab: "Bukan masanya tetapi itu berlaku
bila hawa nafsu telah mengusai dan merata dan orang-orang suka berdebat, maka
tiap orang harus menjaga keselamatan dirinya, maka pada saat itulah tiba
masanya.(Tafsirannya)
B. Amar Ma’ruf Nahi Munkar –
Memerintahkan Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran
Islam
bukanlah agama individual/nafsi-nafsi yang hanya mementingkan diri sendiri.
Namun juga merupakan agama sosial di mana setiap anggota masyarakat harus
melakukan kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar terhadap sesama. Menyuruh
mengerjakan kebaikan dan Mencegah perbuatan mungkar.
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati dengan kebenaran dan
nasihat menasihati dengan kesabaran.” [Al ‘Ashr 2-3]
Dari
surat Al ‘Ashr di atas jelas. Selain beriman dan mengerjakan perbuatan baik,
kita juga harus nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. Artinya kita
tidak bisa diam saja melihat kemungkaran, namun dengan sabar terus menasehati
agar orang-orang lain juga ikut berbuat baik dan benar dan menghentikan
perbuatan mungkar.
Allah
menyebut orang yang shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat kebaikan dan
mencegah kemungkaran sebagai penolong agamaNya.
“Orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” [Al Hajj
41]
Luqman
juga menyuruh anaknya untuk menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan
mungkar dan bersabar terhadap resiko yang mungkin dihadapi karena itu.
Hai
anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan
cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).” [Luqman 17]
Jika
kita tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah akan menyiksa
kita dengan pemimpin yang zhalim dan menindas kita dan tidak mengabulkan segala
doa kita:
Hendaklah
kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang
berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang
yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara
kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Zar)
Allah
mengutuk para pendeta Yahudi dan Nasrani karena mereka meninggalkan amar ma’ruf
dan nahi munkar dan menyiksa mereka dengan bencana dan malapetaka.
Wahai
segenap manusia, menyerulah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang mungkar
sebelum kamu berdo’a kepada Allah dan tidak dikabulkan serta sebelum kamu
memohon ampunan dan tidak diampuni. Amar ma’ruf tidak mendekatkan ajal.
Sesungguhnya para robi Yahudi dan rahib Nasrani ketika mereka meninggalkan amar
ma’ruf dan nahi mungkar, dilaknat oleh Allah melalui ucapan nabi-nabi mereka.
Mereka juga ditimpa bencana dan malapetaka. (HR. Ath-Thabrani)
Kita
wajib melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta saling nasehat-menasehati.
Tidak ada yang maksum selain Nabi. Oleh karena itu, manusia biasa, ustadz,
ulama, atau murobbi dan sebagainya, jika keliru, kita wajib mengkoreksinya.
Jika tidak, maka nasib kita seperti para Rabi Yahudi dan Rahib Nasrani yang
dilaknat Allah. Jika kemaksiatan dan kemungkaran merajalela, maka Allah
menurunkan siksa yang tidak hanya menimpa orang yang zalim saja.
“Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
[Al Anfaal 25]
Bahkan
pada shalat pun meski kita telah memilih Imam (pemimpin) yang paling alim dan
paling saleh misalnya seperti Nabi Muhammad, tetap saja kita berkewajiban
mengingatkan Imam jika mereka salah atau lupa dalam shalat. Apalagi jika
manusia itu di bawah level Nabi seperti wali, ulama, murobi, dan sebagainya.
Ini Nabi sendiri yang memerintahkan.
Bahkan
Nabi menyatakan bahwa jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran di depan
penguasa yang zalim dan kejam meski dia menanggung resiko hukuman yang amat
berat.
Jihad
paling afdhol ialah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang
zalim dan kejam. (HR. Aththusi dan Ashhabussunan)
Nabi
menyatakan bahwa jika kita melihat kemungkaran, hendaknya kita merubah dengan
tangan kita. Jika tidak mampu dengan lisan (ucapan) atau pun tulisan kita. Jika
tidak mampu juga dengan hati (diam dan membenci dalam hati). Namun itu adalah
selemah-lemahnya iman. Dengan hati ini artinya membenci dalam hati. Jika mampu
dia akan merubahnya dengan lisan atau pun tangan.
“Barangsiapa
melihat suatu kemungkaran hendalah ia merobah dengan tangannya. Apabila tidak
mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga
hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah. (HR. Muslim)
Sayang
saat ini sebagian ummat Islam untuk diam saja tidak mampu. Melainkan turut
serta mendukung kemungkaran baik dengan lisan/tulisan mau pun tangan. Sebagai
contoh meski Neoliberalisme yang diusung kaum kapitalis Yahudi dan Nasrani
bertentangan dengan Islam, sebagian ummat Islam justru mendukungnya
karena kebodohannya. Begitu juga aliran sesat banyak yang berkembang dan
didukung keberadaannya oleh sebagian Muslim. Ashobiyyah/fanatisme
golongan/nasionalisme kebablasan ala NAZI yang memecah-belah ummat Islam di
seluruh dunia hingga saling bunuh satu sama lain juga harus dicegah sekuat
kita.
Seandainya
seseorang dapat hidayah melalui kita, maka itu sangat baik bagi kita.
“Apabila
Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih baik bagimu
daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit sampai terbenam.(HR. Bukhari
dan Muslim)
Nabi
berkata bahwa bukanlah dari golongan Nabi orang yang tidak mau beramar ma’ruf
nahi munkar.
Bukanlah
dari golongan kami orang yang tidak mengasihi dan menyayangi yang lebih muda,
tidak menghormati orang yang lebih tua, dan tidak beramar ma’ruf dan nahi
mungkar. (HR. Tirmidzi)
Tentu
saja dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kita harus melakukannya dengan cara
sebaik-baiknya sehingga tidak menyebabkan orang banyak menjauh.
Permudahlah
(segala urusan), jangan dipersulit dan ajaklah dengan baik, jangan menyebabkan
orang menjauh. (HR. Bukhari)
Allah
mengajarkan kita untuk berdebat dengan cara yang paling baik.
Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka..” [Al ‘Ankabuut 46]
“Serulah
manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik…” [An Nahl 125]
Bahkan
jika perlu, karena menolaknya dengan cara yang sangat baik, akhirnya orang yang
kita cegah itu berubah jadi teman yang setia.
“Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar.” [Fushshilat 34-35]
Tentu
saja jika kita diserang, kita wajib membela diri. Namun dengan cara-cara yang
baik sehingga orang banyak yang simpati. Bukan dengan cara yang menimbulkan
kebencian orang banyak. Nabi Muhammad SAW sudah membuktikannya sehingga orang
yang dulu jadi musuhnya seperti Umar ra, Khalid bin Walid, Wahsyi, Abu Sofyan,
dan sebagainya berubah menjadi sahabatnya.
Tidaklah
seharusnya orang menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar kecuali
memiliki tiga sifat, yakni lemah-lembut dalam menyuruh dan dalam melarang
(mencegah), mengerti apa yang harus dilarang dan adil terhadap apa yang harus
dilarang. (HR. Ad-Dailami)
Tapi
untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kita harus melaksanakannya dulu. Ibda
bi nafsik! Mulailah dari diri kita sendiri, kemudian baru menyuruh orang lain.
Jika tidak, resikonya adalah dilempar ke neraka.
Pada
hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya,
“Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar?” Orang tersebut
menjawab, “Ya benar, dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri
tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat mungkar sedang aku sendiri
melakukannya.” (HR. Muslim)
Dalam
memberi nasehat juga harus ada hari liburnya agar mereka tidak jenuh/bosan.
Nabi
meniadakan pemberian pelajaran untuk beberapa hari karena khawatir kejenuhan
kami. (HR. Ahmad)
Allah
baru menyiksa manusia jika mereka sudah tidak mau mencegah kemungkaran yang ada
di hadapannya.
Sesungguhnya
Allah ‘Azza wajalla tidak menyiksa orang awam karena perbuatan dosa orang-orang
yang khusus sehingga mereka melihat mungkar di hadapan mereka dan mereka mampu
mencegahnya, tetapi mereka tidak mencegahnya. Kalau mereka berbuat demikian
maka Allah menyiksa yang khusus dan yang awam seluruhnya. (HR. Ahmad dan
Ath-Thabrani)
Orang
yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang paling banyak
menasehati sesama (tentunya sesudah dia sendiri mengamalkannya).
Orang
yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah yang
paling banyak berkeliling di muka bumi dengan bernasihat kepada manusia
(makhluk Allah). (HR. Ath-Thahawi)
Perintah
Allah jelas: Menyuruh orang berbuat baik dan mencegah perbuatan yang mungkar.
Pada
suatu hari Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya: “Kamu kini jelas
atas petunjuk dari Robbmu, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar dan berjihad di jalan Allah. Kemudian muncul di kalangan kamu dua hal
yang memabukkan, yaitu kemewahan hidup (lupa diri) dan kebodohan. Kamu beralih
kesitu dan berjangkit di kalangan kamu cinta dunia. Kalau terjadi yang demikian
kamu tidak akan lagi beramar ma’ruf, nahi mungkar dan berjihad di jalan Allah.
Di kala itu yang menegakkan Al Qur’an dan sunnah, baik dengan sembunyi maupun
terang-terangan tergolong orang-orang terdahulu dan yang pertama-tama masuk
Islam. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)
Namun
tidak jarang orang karena kemewahan hidup dan cinta dunia akhirnya tidak mau
lagi beramar ma’ruf nahi munkar. Bahkan karena mendapat uang atau jabatan,
tidak segan-segan mereka justru mendukung kemungkaran dan mencegah perbuatan
baik.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan
itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar…” [An Nuur 21]
Semoga
kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa mengerjakan perbuatan
baik dan menjauhi kemungkaran serta mengajarkannya kepada orang lain.
Sumber:
1100
Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) – Dr. Muhammad Faiz Almath – Gema
Insani Press
Al
Qur’an Digitan dan Hadits Web yang bisa didownload di www.media-islam.or.id
C. Hadits
yang menjelaskan tentang Amar Ma’ruf Nahyi Munkar
Dari Abu
Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya,
jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak
mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling
lemah.” (HR.
Muslim no. 49)
Dalam
riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan
sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits ini
adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam
syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk
menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi
dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar
(kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah
separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At
Thufi, hal. 292)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah:
Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang
dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan
tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah
maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki
keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada
sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan,
masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya,
akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih
mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang
wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang
kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan
demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib
atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah)
kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Hadits dan
perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar
merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran
tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib
bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh
hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka
ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang
penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya,
dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?”
Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,”
saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan
di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang
sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah
(mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al
Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti
memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai
realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan
tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan
segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir
(mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran
tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam
setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari
dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah
menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh
hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai
dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus
dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini
pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang
yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu
Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan
hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf
beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari
perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa
mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak
gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia
akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan
dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari
dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana
perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah
kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab: “Orang yang tidak mengenal
kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi
mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan,
jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan
banyak:
Pertama mempertimbangkan
antara maslahat dan mafsadah. Ini adalah kaidah yang sangat
penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi
mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi
mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan
mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar
dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan
dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang
demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun
kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan
melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan
sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah
maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul
diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak
menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan,
dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang
yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat
kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar
lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah,
sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang
mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia
tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman
perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu
mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Maa’idah: 105)
Dan mendapat petunjuk hanya dengan
melakukan kewajiban.”
(Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun
al Islamiyah)
Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya
perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka
harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau
kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan,
bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari
maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata
syari’at.”
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika
mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci
oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci
pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4)
Oleh karena itu perlu dipahami dan
diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1. Hilangnya kemungkaran secara total
dan digantikan oleh kebaikan.
2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun
tidak tuntas secara keseluruhan.
- Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
- Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua
disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan
yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan Syarh
Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255)
D. Hadits
Ke Tiga Puluh Empat
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ
: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث
:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu
berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu
maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya
dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.(Riwayat Muslim)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث
:
1. Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban
yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan
kekuatannya.
2. Ridho terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3. Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar.
4.
Amal merupakan buah dari
iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
5.
Mengingkari dengan hati
diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan
berdasarkan kemampuannya.
E. Meninggalkan Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
"Dan peliharalah
dirimu dari siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat
keras siksanya". (Qs
al-Anfâl/8:25)
Penjelasan
Ayat :
Adzab
Allah Ta'ala itu sangat pedih. Jika adzab itu diturunkan pada suatu tempat,
maka ia akan menimpa semua orang yang ada di tempat tersebut, baik orang shaleh
maupun thâlih (keji). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memperingatkan kaum Mukminin
agar mereka senantiasa membentengi diri mereka dari siksa tersebut dengan
melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta menyeru manusia
kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran.
Syaikh
Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri hafizhahullâh mengatakan, “Ayat ini sebagai
peringatan lain yang amat besar bagi kaum Mukminin, agar mereka tidak
meninggalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta tidak
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru manusia kepada kebaikan dan
mengajak mereka untuk menjauhi kemungkaran). Sebab, jika mereka
meninggalkannya, maka kemungkaran akan menyebar dan kerusakan akan meluas. Bila
kondisi sudah demikian, maka adzab pun akan diturunkan kepada seluruh komponen
masyarakat, baik yang shaleh maupun yang thâlih, yang berbuat kebajikan maupun
yang berbuat kejelekan, baik yang adil maupun yang zhalim. Dan jika Allah
Ta’ala menurunkan siksa, maka siksa-Nya sangat pedih, tidak seorang pun yang
kuat menahan siksa tersebut. Untuk itu, hendaknya kaum Mukminin menjauhinya
dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Imam
Ibnu Jarîr rahimahullâh berkata: “Dalam ayat di atas Allah Ta’ala berfirman
kepada orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (yang
maknanya); “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah diri kalian dari siksa
Allah Ta’ala , jangan sampai siksa itu menimpa kalian, karena ulah orang-orang
zhalim yang telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan,
baik berupa kezhaliman maupun perbuatan dosa (lainnya) atau karena kalian
mendatangi tempat-tempat maksiat, tempat yang pantas untuk diturunkan adzab.
F. Hikmah Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Sesungguhnya
termasuk pengertian dari nama Allah al-Hakiim (Dzat Yang Maha Bijaksana) adalah
tersimpannya banyak kebaikan bagi para hamba dalam amalan-amalan yang
dititahkan-Nya, dan adanya berbagai kerusakan serta bahaya dibalik
perkara-perkara dilarang-Nya. Maka takala perintah untuk melaksanakan ibadah
yang agung ini Allah sampaikan kepada umat Islam, pastilah tersimpan banyak
rahasia kebaikan di dalamnya. Berikut ini di antara hikmahnya yang luhur:
Menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu bentuk iqâmatul hujjah
(penyampaian hujjah, keterangan yang jelas akan kebenaran dari Allah Ta’ala )
bagi seluruh umat manusia secara umum, dan para pelaku maksiat secara khusus.
Sehingga ketika turun musibah dan bencana mereka tidak bisa berdalih dengan
tidak adanya orang yang memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka. Mereka
juga tidak bisa beralasan dengan hal yanga sama di hadapan Allah Ta’ala kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasu-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
(Qs an-Nisâ/4:165)
"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasu-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
(Qs an-Nisâ/4:165)
Dengan
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar akan terlepas tanggungan kewajiban untuk
melaksanakannya (lazim disebut barâtu dzimmah) dari pundak orang-orang yang
telah menjalankannya. Allah Ta’ala berfirman :
“maka berpalinglah engkau dari mereka, dan engkau sekali-kali tidaklah tercela”.
(Qs adz-Dzâriyât/51:54)
“maka berpalinglah engkau dari mereka, dan engkau sekali-kali tidaklah tercela”.
(Qs adz-Dzâriyât/51:54)
Membantu
saudara seiman untuk melaksanakan kebajikan, sebagai realisasi firman Allah Ta’ala : “Dan tolong-menolonglah kalian dalam
melaksanakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. (Qs al-Mâidah/5:2) Seorang Muslim yang sejati, adalah
orang yang menyukai kebaikan
ada pada saudaranya seiman, seperti dia menyukai hal itu ada pada dirinya.
Karenanya, dia bersungguh-sungguh untuk mengajak saudaranya seiman untuk
menggapai pahala dan menjauhi dosa.
Amar
ma’ruf nahi munkar adalah salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan
kepemimpinan (penguasaan) di muka bumi. Allah yang telah menciptakan bumi, maka
Dia Ta'ala lah yang berhak mengangkat penguasa di muka bumi tersebut. Allah
Ta’ala berfirman menyebutkan ciri-ciri para penguasa pilihan-Nya: “Allah pasti akan menolong
orang-orang yang menolong (agama)-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi, mereka
menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada kebajikan dan
mencegah dari yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (Qs
al-Hajj/22: 40-41)
G. Ganjaran Bagi Orang-Orang yang
Menegakkan Pilar Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Allah
Ta’ala berfirman untuk mengabarkan akan pertolongan-Nya bagi para penegak panji
nan agung ini dari laknat yang telah menimpa Ashâb Sabt dalam firman-Nya: “Maka tatkala mereka melupakan apa
yang diperingatkan kepada mereka kami menyelamatkan orang-orang yang mencegah
perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang yang berbuat dzalim siksaan yang
keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik” (Qs: Al-a’rof :165)
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini
adalah sunnatullah (hukum Allah Ta’ala) bagi para hamba-Nya, bahwa
orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
kemungkaran akan selamat ketika musibah menimpa. (Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 307)
H. Kerusakan Yang Timbul Akibat
Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Sebagaimana melaksanakan amar ma’ruf
nahi munkar mengandung banyak kemaslahatan bagi umat manusia di dunia maupun di
akhirat, maka begitu pula sebaliknya, meninggalkan amalan yang agung ini akan
menimbulkan berbagai kerusakan yang dapat menghilangkan ketentraman dan
kedamaian dalam kehidupan. Dan ini merupakan salah satu tanda akan besarnya
kasih-sayang Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya, lantaran Dia Ta’ala senantiasa
memperingatkan mereka dari hal-hal yang membahayakan agama, dunia dan terlebih
akherat mereka. Di antara kerusakan tersebut adalah:
1.
Ketika
amar ma’ruf nahi munkar ini ditinggalkan maka para pelaku maksiat dan dosa akan
semakin bernyali untuk terus melakukan perbuatan nistanya, sehingga sedikit
demi sedikit akan sirnalah cahaya kebenaran dari tengah-tengah umat manusia.
Sebagai gantinya, maksiat akan merajalela, keburukan dan kekejian akan terus
bertambah dan pada akhirnya tidak mungkin lagi untuk dihilangkan.
2.
Sikap
diam orang-orang yang mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar akan membuat
perbuatan tersebut menjadi baik dan indah di mata khalayak ramai, kemudian
mereka pun akan menjadi pengikut para pelaku maksiat, dan hal ini adalah
termasuk musibah dan bencana yang paling besar.
3. Sikap tidak mau mencegah hal yang
mungkar merupakan salah satu sebab hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.
Karena tersebarluasnya kemungkaran tanpa adanya seorang pun dari ahli agama
yang mengingkarinya akan membentuk anggapan bahwa hal tersebut bukanlah sebuah
kemungkaran (kebatilan). Bahkan bisa jadi mereka melihatnya sebagai perbuatan
yang baik untuk dikerjakan. Pada gilirannya, akan kian merajalela sikap
menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan mengharamkan
hal-hal yamg dihalalkan oleh-Nya. Wal’iyâdzubillâh.
I. Perkara Yang Menyebabkan Adzab Turun
Di antara sebab turunnya siksa Allah Ta’ala adalah:
1. Adanya kemungkaran yang
merajalela, baik berupa kesyirikan, kemaksiatan, maupun kezhaliman.
Sebagaimana telah disebutkan oleh Ummul Mukminîn Zainab
binti Jahsy radhiallahu'anha bahwa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah
mendatanginya dalam keadaan terkejut, seraya berkata:
“Lâ ilâha illallâh! Celakalah bangsa Arab, karena kejelekan yang telah mendekat, hari ini telah dibuka tembok Ya’jûj dan Makjûj seperti ini – beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya - ."
Kemudian Zainab radhiallahu'anha berkata:
“Apakah kita akan binasa wahai Rasullullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih?."
Beliau menjawab: “Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela.”
Ali bin Abi Thâlib radhiallahu'anhu berkata:
مَا نَزَلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍِ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
Tidaklah musibah itu menimpa, kecuali disebabkan dosa, dan musibah itu tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.
“Lâ ilâha illallâh! Celakalah bangsa Arab, karena kejelekan yang telah mendekat, hari ini telah dibuka tembok Ya’jûj dan Makjûj seperti ini – beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya - ."
Kemudian Zainab radhiallahu'anha berkata:
“Apakah kita akan binasa wahai Rasullullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih?."
Beliau menjawab: “Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela.”
Ali bin Abi Thâlib radhiallahu'anhu berkata:
مَا نَزَلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍِ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
Tidaklah musibah itu menimpa, kecuali disebabkan dosa, dan musibah itu tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.
2.
Meninggalkan
Amar ma’ruf nahi mungkar
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits an-Nu’mân bin
Basyîr radhiallahu'anhu bahwa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam berkata:
“Perumpamaan orang yang menjaga larangan-larangan Allah dan orang yang terjatuh
di dalamnya adalah seperti suatu kaum yang sedang mengundi untuk mendapatkan
tempat mereka masing-masing di dalam kapal. Sebagian mendapat tempat di bagian
atas kapal dan sebagian lainnya mendapat di bagian bawah. Orang-orang yang
berada di bawah jika ingin mendapatkan air minum mereka melewati orang-orang
yang ada di atas. Mereka (yang ada di bawah) berkata: “Andaikata kita melubangi
perahu ini untuk mendapatkan air minum, maka kita tidak akan mengganggu mereka
yang ada di atas”. Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan perbuatan dan
keinginan orang-orang yang ada di bawah (yaitu melubangi kapal), maka mereka
semua akan tenggelam. (HR al-Bukhâri dan at-Tirmidzi)
Dalam mengomentari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin
`Abdurrahmân al-Mubârakfûri rahimahullah berkata: “Dan memang seperti itu
maknanya, jika manusia melarang orang yang berbuat maksiat, maka mereka semua
akan selamat dari adzab Allah Ta’ala, dan sebaliknya, jika mereka membiarkan
kemaksiatan, maka mereka semua akan ditimpa adzab dan akan binasa, dan ini
adalah makna ayat (di atas).
Imam al-Qurtubi rahimahullah juga berkata: “Dalam hadits ini
terdapat pelajaran yang bisa dipetik, (di antaranya), datangnya adzab tersebut
dikarenakan dosa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan juga disebabkan oleh
tidak adanya amar ma’ruf nahi mungkar (di tengah mereka). Seperti itu pula yang
telah disebutkan dalam hadits Abu Bakr radhiallahu'anhu. Beliau berkata: “Sungguh,
kami pernah mendengar Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang melakukan kezhaliman, kemudian
mereka tidak mencegah orang itu, maka Allah akan meratakan adzab kepada mereka
semua. (HR Abu Dâwud, at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni).
Ayat dan beberapa hadits di atas menunjukkan betapa
pentingnya peran amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan manusia di alam
semesta ini, karena dengan ditegakkannya hal itu, kesyirikan, kezhaliman dan
kemaksiatan akan berkurang, kebaikan akan menyebar serta dengan izin Allah
Ta’ala akan terhindar dari adzab Allah Ta’ala di dunia ini.
J. Bahaya Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Selain diturunkan adzab sebagaimana
yang tertera di atas, masih ada lagi akibat-akibat lain yang ditimbulkan sikap
meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, di antaranya adalah:
- Tidak
dikabulkan doa (permintaan) seorang hamba.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam:
"Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Ta’ala tidak mengabulkan do’a kalian."
(HR Ahmad dan at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’)
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar permintaannya tidak dikabulkan oleh Allah Ta’ala. - Mendapatkan
laknat dari Allah Ta’ala.
Hal tersebut telah terjadi pada umat sebelum umat ini yaitu Bani Isra’il, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan Dâwud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampauhi batas. Mereka satu sama lain senantiasa tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.
(Qs al-Mâidah/5:78-79)
Dalam ayat pertama Allah Ta’ala menyebutkan jauhnya orang-orang kafir bani Israil dari rahmat Allah Ta’ala. Hal itu sebagai bentuk hukuman bagi mereka dikarenakan kedurhakaan dan pelanggaran mereka atas batasan-batasan Allah Ta’ala dan hak-hak orang lain. Karena sesungguhnya setiap amal perbuatan pastilah akan ada ganjarannya. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Ta’ala mengabarkan kepada hamba-hamba Nya yang beriman perihal kemaksiatan yang menyebabkan mereka (orang-orang kafir itu) tertimpa dengan hukuman tersebut. Yaitu mereka melakukan kemungkaran dan tiadalah seorang pun dari mereka yang mencegah saudaranya dari kemaksiatan yang dilakukan. Maka, para pelaku kemungkaran dan orang yang membiarkannya mendapatkan hukuman yang sama. Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya berkata:
“Dahulu Orang-orang Yahudi dilaknat Allah Ta’ala karena mereka tidak berhenti dari kemungkaran yang mereka perbuat dan sebagian mereka juga tidak melarang sebagian lainnya (dari kemungkaran tersebut)”.
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Ayat di atas (juga) menunjukkan larangan duduk dengan orang-orang yang berbuat kemungkaran dan mengandung perintah untuk meninggalkan dan menjauhi mereka.”
Sehingga jelaslah dari kedua ayat di atas bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal yang akan mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah Ta’ala Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullâh mengomentari ayat tersebut dengan ucapan beliau,
“Ayat ini menerangkan bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah perkara yang mendatangkan kemarahan dan laknat Allah. Nasalullâh al’âfiyah.”
Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah, inâyah serta taufik dan maghfirahnya kepada kita semua agar kita semua selamat dari adzab dan murka-Nya di dunia dan di akhirat. Amîn
Pelajaran Dari Ayat:
1.
Kemungkaran, baik kesyirikan,
kedzaliman maupun kemaksiatan dapat menyebabkan hilangnya kenikmatan dan
mendatangkan kehancuran.
2.
Pentingnya Amar ma’ruf nahi mungkar.
3.
Di antara hikmah amar ma’ruf nahi
mungkar adalah terhindar dari siksa Allah Ta’ala .
4.
Di antara hikmah amar ma’ruf nahi
mungkar adalah menyebarnya kebaikan dan berkurangnya kemungkaran.
5.
Menjauhi tempat-tempat kemungkaran
dan pelakunya, agar selamat dari adzab Allah Ta’ala .
6.
Siksa Allah Ta’ala amat pedih, tak
seorang mampu menolaknya dan kuat menahannya.